} Aku Lebih Beruntung - Bambang Irwanto Ripto

Aku Lebih Beruntung

      Aku melangkah riang pulang ke rumah. Matahari yang bersinar terik, tidak terasa panas lagi. Aku sangat gembira, karena Hari ini adalah hari terakhir sekolah. Besok sudah libur menjelang lebaran. Aku akan mudik ke rumah nenek di Kebumen, Jawa Tengah bersama ayah, Ibu dan Raisa, adikku yang baru berumur 3 tahun. Aku sudah membayangkan suasana lebaran yang menyenangkan nanti.
“Assalamualaikum,” aku memberi salam sebelum masuk rumah. Tidak terasa aku sudah sampai di rumah.
“Waalaikumsalam,” jawab Ibu. Sepertinya Ibu lagi di dapur. Aku bergegas menemui Ibu.
“Bu, besok sekolahku sudah libur,” kataku sambil duduk di kursi makan.
Ibu yang sedang mencuci beras, menoleh sejenak padaku. “O ya, baguslah. Kamu bisa membantu Ibu menjaga Raisa.”
“Kita jadi mudik kan, Bu?" tanyaku penuh harap.         “Insya Allah. Kita tunggu Ayahmu dulu, ya!”

                                                   dimuat di majalah online Halonanda
Pukul 5 sore, Ayah baru pulang kerja. Ayahku seorang dokter dan bekerja di sebuah rumah sakit di Jakarta. Aku segera menyambut.
“Ayah, kapan kita mudik?”
Ayah hanya tersenyum sambil melepas sepatu lalu duduk di kursi ruang tamu.
“Ayah, kita jadi mudik, kan?” tanyaku lagi penasaran.
“Maaf ya, sayang, sepertinya tidak jadi. Ayah tiba-tiba harus mengantikan tugas teman ayah yang sakit.”
Tentu saja aku terkejut. Aku ingin menangis. “Tapi Ayah sudah janji.”
“Maaf ya, sayang. Tugas Ayah jauh lebih penting. Apalagi tahun lalu kita sudah mudik. Jadi tahun ini kita lebaran di Jakarta saja.”
Wah, bagaimana ini? Padahal aku sudah bercerita pada teman-teman. Malah aku sudah berjanji akan membawakan mereka oleh-oleh khas Kebumen. Airin pesan lanting rasa keju, Mauren pesan lanting rasa bawang, dan Rasti pesan tinting kacang dan jenang. Rupanya teman-temanku ketagihan jajanan khas Kebumen. Tahun lalu aku sengaja memberi mereka oleh-oleh sepulang mudik.
Malamnya aku tidak bersemangat pergi ke masjid. Saat Riska menjemputku, wajahku masih cemberut.
“Kamu kenapa?” tanya Riska saat kami berjalan menuju masjid.
Aku segera menceritakan pada Riska. Riska malah tersenyum.
“Kenapa kamu tersenyum?” aku balik bertanya.
“Masa gara-gara nggak mudik lebaranmu jadi tidak menyenangkan. Memang kalau lebaran di Jakarta kenapa? Ibumu nggak bikin ketupat dan kue?”
Aku menggeleng. “semua tersedia kok. Cuma lebih enak lebaran di kampung,” tukasku.
“Kamu harus bersyukur. Saat lebaran semua tersedia. Baju baru, kue-kue enak dan makanan lezat. Coba tengok teman-teman kita yang kurang beruntung. Misalnya di panti asuhan atau anak-anak jalanan. Untuk makan saja, mereka harus bersusah payah,” kata Riska.
Aku tercenung. Benar juga ucapan Riska. Aku masih jauh beruntung. Masa gara-gara batal mudik, aku jadi ngambek.
“Kamu kok pintar sekali? Seperti ibu-ibu saja,” pujiku.
Riska tertawa. “Aku hanya mengulang ucapan Mamaku,” kata Riska. “Yuk, bergegas. Nanti kita terlambat shalat Isya dan taraweh!”
“Ayo!” Kataku penuh semangat.

Terima kasih ya, Allah! Atas semua karuniamu, ucapku dalam hati penuh syukur.


                                             

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Aku Lebih Beruntung"

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.