} Melepas Sesak di Dada - Bambang Irwanto Ripto

Melepas Sesak di Dada

Bambang Irwanto

“Halo, Ary... How are you?” Ninit langsung melempar tas ke bangku, lalu duduk manis di samping gue.
Gue melirik kepada Ninit. Wow.. gue langsung melongo saat melihat Ninit. Hari ini penampilan Ninit sungguh berbeda.
 “Model rambut lo baru?” tanya gue heran sekaligus basa-basi. Sudah tau model rambut Ninit baru, gue malah nanya lagi. Garing banget.
Ninit tersenyum manis. Aaih... baru kali ini gue lihat Ninit tersenyum semanis itu. Biasanya dia ngakak habis, kalau gue berlaku konyol.
“Bagus ga?” tanyanya sambil mengibaskan ujung-ujung rambutnya.
Gue memperhatikan Ninit dengan seksama. Rambut hitam lurusnya sepunggung, kini berubah kriwil-kriwil. Ninit mengkeriting rambutnya. Gue mengerjap-ngerjapkan mata berkali-kali. Kali aja gue hanya mimpi di pagi hari.
“Nggak salah tuh, Nit?” gue masih bengong. “Orang lain sibuk lurusin rambut, elo malah keriting.”   
“Bagus nggak? Ditanya malah kayak orang bego aja. Tersepona liat penampilan gue?” Ninis ngakak, tapi buru-buru dia menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya.
“Iya..iya,,, bagus,” jawab gue cepat sebelum disambit sepatu kets Ninit.
“Tengkyu Ary. You are my best friend dah,” Ninit menepuk lembut pipi gua. “Yuk, ke kantin, gue traktir lo nyarap nasi uduk.”
Ninit langsung menarik tangan gue. Sepanjang koridor, beberapa mata melihat terus pada kami.
“Nit, mereka semua liatin lo,” gue menjawil lengan Ninit.
No problem. Mereka pasti kagum dengan penampilan baru gue.”
“Kenapa lo keriting rambut?” tanya gue lagi.
“Pengin beda aja.”
***
Halo Ary how are you?” sapa Ninit ceria saat keluar dari rumahnya.
Gue melongo dan langsung berdiri dari kursi teras rumah Ninit. Penampilan Ninit siang ini beda banget. Doi pake baju sabrina dengan rok mini. Pundaknya yang selama ini tertutup jadi terlihat. Sepatu ketsnya sudah berganti dengan sepatu cewek gerli warna pink. Dan itu... kini wajah Ninit berbedak dan bibirnya merah menyala.
“Nggak usah kaget segitunya kale...” Ninit tertawa renyah.
“Nggak salah, Nit?” kening gue terasa berlipat-lipat.
“Emang kenapa? Nggak boleh?”
“Lo kan ga pernah pake baju seperti ini. Biasanya lo pake kaos oblong dan jins belel. Gimana kalo lo masuk angin dan paha lo jadi gosong?” tanya gue. “Lo nggak takut jerawatan pake bedak setebal itu?”
“Ah, bawel lo, kayak emak-emak! Gue kan pengin mencoba hal baru aja. Gue kan udah gadis remaja. Udah 17 tahun lebih. Boleh dong...”
Gue mengangguk-angguk saja kayak burung kakaktua. Memang sudah waktunya Ninit cari perhatian.
“Jadi Nonton,  nggak?”
Gue mengangguk. Hari ini gue memang janji mau traktir Ninit, karena cerpen terbaru gue dimuat lagi di majalah Hai
Gue mengangguk lalu berjalan menghampiri motor yang gue parkir depan rumah Ninit.
“Eits... hari ini, kita nggak naik motor. Taksi aja. Ga mungkin kan, gue naik motor pake rok mini,” protes Ninit. “Sekarang cepetan lo masukin motor ke garasi gue.”
Buru-buru gue memasukkan motor ke garasi rumah Ninit. Gue nggak tau, Ninit itu kesambit apa, bisa berubah kayak gitu.
***

Penampilan baru Ninit itu, langsung menjadi buah bibir di sekolah. Mengalahkan berita infotaimen artis kawin cerai, artis yang lagi bertikai atau artis yang abis lahiran. Dari anak kelas X sampai kelas XII semua ngomongin Ninit. Bahkan Mang Jaya, pedagang es dawet depan sekolah ikut-ikutan ngomongin Ninit.
“Bos, kok nggak bareng si Ninit?” tanya Mang Jaya saat siang itu gue nongkrong di gerobaknya.
Biasanya gue memang sering minum es dawet bareng Ninit.
“Dia sudah pulang naik taksi, Mang!”
“O...” mulut Mang Jaya Bulat kayak ban mobil. “Ninit sekarang beda ya. makin cakep. Hampir semua cowok yang ke mari, ngomongin si Ninit.”
Gue langsung berhenti menyendok es dawet. “Mereka ngomongin apa, Mang?”
Tanpa diminta, Mang Jaya segera lancar bercerita. Seperti sungai Mahakam yang mengalir. Begitu cepat dan tau-tau hanya 5 menit sudah selesai.
Serr... dada gue langsung bergemuruh. Entahlah, gue nggak suka dengan cerita Mang Jaya itu. Buru-buru gue mengeluarkan goceng dari saku seragam gue.
“Nih, Bang, uang dawet,” gue meletakkan uang lima ribu itu di sisi gelas es dawet gue. Gue lalu bangkit dan buru-buru menuju motor gue.
“Bos, es cendolnya nggak dihabisin,” teriak Mang Jaya.
“Buat Mang Jaya aja,” balas gue sambil melesat pergi.
*

         Gue sedang berbaring di dalam kamar. Hati gue gelisah terus. Ada sesuatu yang menyergap dalam dada gue.  Bergejolak-jolak tak menentu dan harus segera dikeluarkan, sebelum meledak.
         Sebenarnya gue pengin banget ngomong ke Ninit. Tapi gue ragu. Gue kayak makan buah simalakama. kalo gue ngomong jujur, dia bakal kabur. Tapi kalo gue nggak ngomong, gimana gitu rasanya. Gue takut Ninit kaget. Biar bagaimanapun, gue dan Ninit sudah sobatan sejak kelas X sampai kelas XII sekarang.
        Sumpah, sejak Ninit berubah penampilan,  gue resah dan geliasah. terus terbayang-bayang di pelupuk mata gue. Mau nggak mau gue terus memperhatikan Ninit. Dan memang ada sesuatu yang beda.
Selama ini, Ninit cuek dengan penampilannya. Rambut sepunggungnya, dibiarkan saja tergerai. Ninit memang berubah dan itu membuat hati gue gimana gitu. Jujur, kalo lihat Ninit sekarang, perasaan gue jadi beda.
         Duh, gimana ya, gue jadi bingung sendiri.
*
“Kenapa lo?” Tanya Bastian teman klub basket gue saat kami sedang latihan.
Sejenak gue bimbang. Akhirnya gue cerita aja ke Bastian.
“Udah, lo ngomong aja. Dari pada lo simpan dalam hati,” saran Bastian.
“Kira-kira, Ninit marah ga ya, kalo gue jujur. Kita udah temenan hampir 3 tahun. Gue takut kalo gue ngomongin ini, Ninit akan jadi lain, bahkan kabur dari gue. Soalnya biasanya gitu. Dari sahabat...”
“Udah, lo nggak usah banyak mikir!” potong Bastian cepat. “Ya, pasti ada deh, rasa nggak enak juga, apalagi lo sahabatnya. Tapi daripada lo nyesak. Bagaimana Ninit mau tau perasaaan lo, kalo lo sendiri nggak ngomong.”
Gue tercenung. Benar juga sih, kata Bastian. Ninit nggak bakal tau perasaan gue, kalo gue nggak ngomong.
“Oke deh, Bas! Gue akan ngomong. Tengs ya, Bro!”
“Sukses, Bro! Gue ikut mendoakan, deh!” Bastian menepuk pundak gue.
*

Hari ini gue deg-degkan terus. Akhirnya gue memutuskan untuk ngomong ke Ninit. Gue nggak tahan lagi, harus menyimpan sesuatu di hati gue. Gue nothing to lose aja. Kalo Ninit  marah dengan pernyataan gue, gue siap menerimanya.
Pulang sekolah, gue langsung menyergap Ninit.
“Nit, hari ini kita pulang bareng, ya!”
“Memangnya kenapa? Gue kan udah biasa naik taksi.”
“Sekali ini aja. Plis... Gue mau ngomong sesuatu,” pinta Gue.
 “Ngomong apa sih, serius banget.
“Yuk, kita cari tempat yang asyik,” gue langsung menarik tangan Ninit menuju parkiran motor sekolah.
*
Siang ini kedai Pizza Hoki nggak terlalu ramai. Aku mengajak Ninit duduk di sudut kedai dekat jendela. Aku memesan satu porsi pizza ayam jamur dan dua botol soft drink.
“Sebenarnya lo mau ngomong apa sih, Ry? Bikin gue deg-degkan aja,” kata Ninit.
Gue menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan berlahan. Sumpah, jantung gue berdetak semakin kencang. “Tapi janji ya, lo ga marah.”
“Iya. Gue heran deh. Sekarang, lo main rahasia-rahasian, ya? Katakan aja.”
Gue menghembuskan napas lagi. “Ehm... sebenarnya... sebenarnya...gue..”
“Ya, udah, ngomong aja!”
“Sebenarnya... gue ga suka penampilan lo yang baru, Nit! Gue ga suka model rambut lo. Gue ga suka lo pake rok mini, gue nggak suka lo bedakan dan pake lipstik merah menyala. Semua teman-teman juga ngomongin itu. Lo jadi kayak cewek aneh yang pernah gue kenal,” akhirnya gue bisa mengeluarkan sesak yang ada di dada gue.
Ninit hanya melongo sambil terus menatap gue.



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Melepas Sesak di Dada"

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.