} Uang Darmawisata - Bambang Irwanto Ripto

Uang Darmawisata

                            
Dimuat di Solopos, Minggu 19 Maret 2017

                        Uang Darmawisata

                                                 Bambang Irwanto


Tinggal dua hari lagi. Tentu saja aku jadi gelisah. Apalagi hanya aku yang belum membayar uang darmawisata ke pantai Suwuk di daerah kebumen. Bu Ratna, wali kelasku juga tadi bertanya sebelum jam pelajaran dimulai.
“Waktu pembayaran hanya sampai besok ya, Lin!” Bu Ratna mengingatkan aku lagi.
“Baik, Bu!” jawabku lalu tertunduk malu.
Sepanjang pelajaran hari ini, aku melamun terus. Aku ingin sekali pergi ke pantai Suwuk. Selama ini, aku hanya melihat di internet sekolah saja. Pantai di laut selatan  jawa itu sangat indah. Pemandangannya bagus, ombaknya sangat tinggi, dan pasirnya putih.
“Kamu jadi ikut kan, Lin?” tanya Wasti, saat kami berjalan bersama sepulang sekolah. “Nanti kita bisa main pasir putih di sana.”
“Aku belum tahu, Ti! Aku kan belum bayar uang darmawisatanya,” jawabku pelan.
“Semoga kamu bisa ikut ya, Lin.” Wasti memberi semangat. Aku mengangguk sambil tersenyum.
Aku dan Wasti berpisah di perempatan jalan kampung. Wasti belok ke kanan dan aku belok ke kiri. Dari belokan itu, rumahku sudah dekat. Hanya sekitar 50 meter lagi.
“Assalamualaikum,” aku memberi salam sebelum masuk rumah.
“Waalaikumsalam,” terdengar suara Ibu dari dalam rumah.
Aku segera masuk rumah dan mencari Ibu. Tampak Ibu duduk di kursi makan sambil mengeringkan rambut panjangnya dengan handuk. Aku sangat suka rambut panjang Ibu sebatas pinggang itu. Sangat hitam dan tebal.
“Ibu darimana? Kok keramas siang-siang?” tanyaku heran.
“Tadi Ibu membantu Pak Harun panen padi. Jadi rambut Ibu lepek dan bau,” jawab Ibu.
Aku mengangguk mengerti. Sejak Bapak merantau ke kalimantan, Ibu bekerja apa saja. Jadi buruh cuci, membantu ketring Bu Mita, sampai menerima pesanan kue. Tapi semua itu hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari kami.
“Lin, kamu ganti baju terus makan!” Ibu membuyarkan lamuananku.
“Iya, Bu! Jawabku lalu menuju kamar.
Setelah ganti baju, aku menuju meja makan.Menu kali ini tetap sederhana. Sayur kangkung dan tempe goreng. Tapi aku selalu bersyukur.
“Kok makannya sambil melamun, Lin?” tegur ibu.
Aku tersipu malu. Aku tidak berselera makan bukan karena menunya, tapi aku masih memikirkan uang darmawisata itu.
“Kamu masih memikirkan uang darmawisata, ya?” ternyata Ibu bisa menebak apa yang aku pikirkan. “Sabar ya, Lin. Ibu belum punya uang.”
Aku mengangguk. Aku tahu Ibu memang belum punya uang. Walau  tadi Ibu bekerja membantu Pak Harun panen padi,  Ibu tidak dibayar dengan uang. Tapi dibayar dengan padi dan harus diselip lagi, untuk memisahkan kulit padinya. Setelah itu , baru bisa dimasak.
                                                                 @@@
Tinggal sehari lagi. Tentu saja aku semakin gelisah. Apalagi saat jam istirahat, teman-teman sudah mulai ramai membicarakan darmawisata ke pantai Suwuk itu. Semua berencana membawa makanan apa saja, dan akan melakukan apa saja di sana.
“Kamu mau bawa apa besok, Ti?” tanyaku pada Wasti.
“kata Ibuku, mungkin arem-arem dan ayam goreng, Lin. Lalu ada cemilan-cemilan lain.”
“Wah.. seru sekali.”
“Tapi tidak seru kalau kamu tidak ikut, Lin!”
Aku menunduk. “Aku ingin sekali ikut, tapi Ibu memang belum ada uang.”
“Bagaimana kalau kamu pakai uang celenganku dulu! Nanti kapan-kapan saja bayarnya.”
“Eh, tidak usah, Ti. Nanti utang Ibuku malah makin banyak utang.”
Bel tanda istirahat selesai berbunyi. Semua masuk ke ke kelas dengan gembira, kecuali aku.
                                                              @@@
Waktunya sudah habis dan hanya aku yang tidak ikut darmawisata ke pantai Suwuk. Bu Ratna memaklumi dan menghapus namaku dari daftar.
“Kenapa kamu tidak mau pakai uangku saja, Lin?” tanya Wasti.
“Tidak usah, Ti! Aku tidak apa-apa kok!” jawabku walau aku sedih.
Aku mengandeng tangan Wasti, agar bergegas pulang. Aku ingin segera sampai di rumah dan menangis di kamarku.
“Lini..” aku melihat Ibu melambaikan tangan di gerbang sekolah. Ibu rapi sekali dengan jilbab biru dan baju muslimah. Itu jilbal dan baju paling bagus yang ibu miliki.
Aku berlari menghampiri ibu. “kok Ibu ke sini?”
“Ibu mau bayar uang darmawisatamu.”
Aku gembira sekali. segera aku gandeng tangan ibu menuju ruang guru, untuk mencari Bu Ratna.
“Wah, Bu Ratna sudah pulang. Baru saja. Katanya mau ke kota dulu,” kata Pak Ahmadi.
“Bagaimana, Bu?” aku memandang cemas ibu.
“Besok saja, ya. Sebelum kamu berangkat, Ibu akan membayar pada Bu Ratna.”
Aku gembira sekali. sepanjang perjalanan pulang aku tersenyum. Wasti juga ikut gembira. Akhirnya, aku bisa ikut darmawisata ke pantai suwuk. Tanpa terasa, perjalanan pulang jadi terasa cepat.
“Lin, kamu ganti baju lalu makan, ya!” Ibu membuka jilbab yang dipakainya.
“Lo, rambut Ibu dipotong?” tanyaku kaget, saat melihat rambut Ibu sudah pendek.
Ibu mengangguk. “Tadi kebetulan ada ibu-ibu berkeliling cari rambut. Rambut Ibu dibeli. Katanya mau dijadikan wig, sanggul, atau bulu mata. Di daerah Purbalingga kan, banyak pabrik wig. Uang seratus ribu, cukup untuk kamu pakai.”
“Ibu tidak sayang pada rambut Ibu?”
Ibu menggeleng. “Ibu lebih sayang pada Lini. Rambut Ibu kan bisa tumbuh lagi.”
Aku langsung memeluk ibu. “Bu, Lini tidak usah ikut darmawisata ke pantai.
“Kenapa? Bukannya kamu ingin pergi?”
“Uangnya untuk modal bikin kue saja,” kataku sambil memeluk erat ibu.
Aku melihat Ibu tersenyum. Dan itu lebih membahagiakan daripada pergi ke tempat wisata.






Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Uang Darmawisata"

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.