} Saat Gue Harus Memilih - Bambang Irwanto Ripto

Saat Gue Harus Memilih

Dimuat di Majalah Hai
                                                
                                                 
                               
                                   Saat Gue Harus Memilih
                                      Bambang Irwanto

“Hai, darling...” sambut Chiara saat gue baru keluar dari kamar mandi. Senyum chiara mengembang. Dengan anggun dia duduk di atas tempat tidur.
Terang aja gue kaget melihat kehadiaran Chiara. Untung aja, gue punya kebiasaan pake baju dulu baru keluar kamar mandi. Kalo nggak,  bisa gawat urusannya.
“Eh, kamu kok datang dadakan?” tanya gue spontan.
“Nggak boleh? Gue mo kasih suprais,” jawab Chiara manja. “Temenin gue nengokin Manda, ya!”
Gua langsung garuk-garuk kepala yang nggak gatal. “Waduh, gimana, ya? Gue harus latihan band, Chi!”
“Ah, latihan band mulu,” Chiara merengut. Bibir indahnya manyun beberapa senti. Tapi tetap cantik dan gue suka.
“Kamu dadakan, sih! Kalo mau jalan, konfir dulu beberapa hari,” kata gue sambil berniat menjawil pipi mulusnya.
Chiara buru-buru menepis tangan gue. “Jiah... Kayak artis top aja. Mana gue tau, kalo hari ini Manda mendadak masuk rumah sakit.”
“Sorry banget , Chi! Gue nggak bisa nemanin kamu. Nggak enak ama anak-anak.”
“Sekali-kali kasih waktu buat gue napa?” kata Chiara manja.
“Iya gue janji.  Jangan cemberut gitu, dong!” Kali ini gue berhasil nyolong menjawil pipi mulusnya.
Gue melirik jam tangan. Sudah pukul 12 siang. Padahal latihan pukul setengah 1. “Chi, kayaknya gue harus cabut.”
“Yeah, padahal baru ketemuan bentaran,” kata Chiara kecewa.
Gue jadi bingung. “Oke, limabelas menit lagi, ya!”
Chiara mengembangkan senyumnya. Manis sekali dan gue suka.
                                                 ***
Joe langsung menyambut, saat gue baru nyampe di studio. Tampangnya kusut banget. Perasaan gue langsung nggak enak.
“kok telat?”
“Sorry, Joe!  Chiara tiba-tiba ke rumah gue.”
Joe menghembuskan napas kuat-kuat. Kayaknya dia kesal karena gue telat lagi. Wajar sih.
“Van, lo serius di band nggak sih?”
“Serius, memangnya kenapa?”
“Kalo lo serius jangan telat mulu, dong! Lo kan vokalis. Semuanya tergantung lo juga. Jangan kayak pentas kemarin, musik udah oke, ga taunya lo masuk fales. Gara-garanya latihan kita nggak maksimal,” kata Joe, wajahnya serius banget.
“Iya, Joe. Sorry!”
“Sorry ya, Van. Sebenarnya gue paling malas cerewet. Tapi lo sekarang  telat mulu. Jadwal latihan jadi berantakan. Mood kita yang tadinya on, jadi melempen karena bete nungguin lo. Pokoknya sejak lo punya cewek, lo jadi nggak on time.”
Gue hanya diam. Gue ngaku salah. Ngasih alasan juga percuma.
“ Kayaknya lo harus milih, tetap di band atau cewek lo itu.”
Gue terkejut. “Jadi lo mau gue putus ama cewek gue?”
Joe mengangguk pasti. “Gue nggak mau, Sejati band hancur karena satu orang. Lo tau kan, gue membangun band ini dari awal.”
Lagi-lagi gue hanya bisa diam. Joe punya kartu as yang membuat gue mati kutu.
“Lo pikirkan lagi. Kalo lo milih cewek lo, berarti gue harus siap-siap nyari vokalis baru,” kata Joe sambil meninggalkan gue, masuk ke dalam studio latihan.
Mood gue langsung menguap. Gue jadi malas latihan.
                                                              ***
       Gue menghempaskan tubuh di ranjang. Kepala gue pusing banget. Gue galau, harus milih yang mana. Milih Sejati band atau Chiara, sama-sama gue suka.
Kalo bisa, Gue maunya ga usah memilih. Gue janji, akan berusaha biar semuanya sejalan. Tapi Joe kayaknya sudah bersikeras. 
Pikiran gue langsung melanglang buana tiga tahun lalu, waktu gue masih kelas 1 SMU. pagi itu, sekolah masih sepi. Gue biasa datang awal. Kebetulan gue piket kelas. Sambil membersihkan kelas, gue nyanyi.
Plokplokplok... tiba-tiba ada yang bertepuk tangan. Joe muncul dari balik pintu kelas. Gue malu banget. Rupanya Joe mendengar suara gue.
“Suara lo bagus benget, Van!” puji Joe.
“Muji atau menghina nih, Joe?” gue tersipu malu.
“Memuji. Suwer, suara lo bagus! Lo mau gabung di band gue jadi vokalis?”
Gue terkejut. Sumpah gue senang banget. Seperti ribuan bintang jatuh ke tangan gue. Selama ini gue memang sering konser. Tapi konser di kamar mandi. Taelah.
“Serius lo, Joe?”
“Serius. Kalo lo mau, minggu depan kita mulai latihan.”
“Alat-alatnya?
Joe tertawa. “Lo, ga usah khawatir. Papa gue punya studio dan sekolah musik. Pokoknya beres.”
Rasanya gue ingin terbang saat itu. Senang banget. Setidaknya, impian gue jadi penyanyi bisa kesampaian
Joe lalu mengaet Randi, Adika dan Marlon. Tiga kali seminggu kami latihan. Lalu kami mendapat kesempatan manggung di sebuah pensi. Sejak itu tawaran mulai berdatangan.Penampilan gue mulai berubah. Dari rambut sisir rapi, jadi mulai dikasih jel. Gue juga ikut fitnes.
 Sampai suatu hari, Chiara, cewek paling cantik di tempat fitnes, nyamperin gue saat sedang istirahat.
“Hei, Van. Boleh gabung ga?” Chiara langsung duduk di hadapan gue.
“Eh, boleh aja, Chi,” gue kaget. Selama ini Chiara ga pernah dekatin gue.
“Gue denger, lo vokalis band, ya? Boleh minta tolong ga? Teman gue ulang tahun, lo mau nggak nyanyi di pestanya?
“Bareng band gue?”
“Nggak usah. Lo doang yang gue undang. Tamu spesial gitu. Ultahnya di kafe kok, jadi udah ada Bandnya. Jadi lo tinggal nyanyi aja. Lo mau ya. gue udah promosi ke teman gue lho.”
Gue langsung mengangguk. Diajak cewek secantik Chiara siapa yang bakal nolak. Apalagi nggak ada latihan dengan Sejati Band.
       Sejak itu gue dan Chiara jadi akrab. Rasanya senang banget bisa dekat Chiara. Gue berwajah biasa, bisa jalan dengan cewek sacantik dia. Akhirnya kami jadian. Walau gue sadar, mata-mata sirik menjajari setiap langkah gue dan Chiara.
Dan sekrang, gue harus melepas salah satunya. Sebagai vokalis Sejati Band atau mempertahan Chiara di samping gue?
Tergiang lagi ucapan Joe, yang selalu menganggu malam-malam tidur gue.
“Kalo band kita sukses, lo bisa dapat ribuan cewek, kalo lo mau.”
        Tiba-tiba pikiran itu terlintas begitu saja. Mungkinkah Chiara suka gue hanya popularitas gue. Bukan karena diri gue.
Aha... gue punya ide cemerlang. Gue yakin sekarang bisa memilih.
                                                          ***
        Chiara tersenyum manis. “Gue suka banget kalo kita sering-sering kayak gini.”
Gue tersenyum sambil meneguk capucino. “Gue juga senang. Tapi kayaknya kita udah ga bisa sering-sering gini lagi, Chi?”
“Eh, apa maksud kamu?”
“Gue dipecat dari sejati band. Mulai minggu depan gue nggak dapat job lagi.”
Mata indah Chiara membulat.  Ia sibuk mengaduk-aduk lemon teanya.
“Chi, kamu ga apa-apa kan?”
Chiara mengangguk.
                                                         ***
Benar dugaan gue, dua hari kemudian Chiara menemui gue. Dia minta putus. Gue pura-pura terkejut. Tapi gue puas. Kini gue tahu. Benar dugaan gue, Chiara mencintai gue karena popularitas. Putus yang indah, tanpa air mata dan penyesalan.
Sejak putus dengan Chiara, gue kosentrasi pada Sejati Band. Sikap Joe mulai membaik lagi pada gue.
 Siang itu sehabis latihan gue menyusuri Mall Kota Kasablanka. Kebetulan minggu ini ga ada pentas. Rencananya gue mo cari beberapa CD untuk referensi. Gue segera masuk toko musik
“Joe, lo di sini juga?” gue terkejut melihat Joe sedang memilih CD.
Joe terkejut. “Iya, iseng aja.”
“Bareng siapa, lo?”
Joe tidak menjawab. Tangannya melambai pada seseorang. Refleks gue menoleh.
“Chiara???”
Joe tersentak. “Lo kenal cewek baru gue, van?”
Gue hanya mengangguk. Tapi gue nggak bisa menafsirkan perasaan gue.
Chiara semakin mendekat. Ia memamerkan senyum manisnya. Sumpah kali ini gue muak dengan senyumannya itu.




Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Saat Gue Harus Memilih "

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.