Siang itu saya sedang mengetik di laptop. Tiba-tiba terdengar keponakan saya yang berusia 7 tahun sedang memahari adiknya yang berusia 5 tahun karena terlalu banyak menaburkan makanan ikan. Gaya memarahinya persis seperti emak-enak yang sedang mengomel pada anaknya. Saya spontan tertawa, lalu berucap, “Uuh.. kayak emak-emak saja hahaha.”
Selang 5 menit, saya bergegas ke dapur untuk mengambil air minum. Saat mendekati meja dapur, entah kenapa tiba-tiba kaki kanan saya dengan sendirinya menendang kursi kayu dekat meja. Padahal otak saya ini tidak memerintahnya. Aduh.. sakit. Dan saya langsung teringat karma dari perbuatan saya tadi menertawakan keponakan saya. Padahal tanpa bermaksud apa-apa hehehe.
Karma
Dari Kamus besar Bahasa Indonesia, Karma adalah Perbuatan
manusia ketika hidup di dunia atau hukum
sebab akibat. Karma juga berasal dari bahasa sangsekerta yang berarti
perbuatan. Konsep yang berkaitan dengan hubungan antara tindakan seseorang dan
konsekuensi yang menyertainya.
Jadis sebenarnya, karma itu sesuai dengan perbuatan kita. Kalau kita berbuat baik, akan mendapat balasan hal baik juga. Kalau berbuat tidak baik, akan mendapatkan hal yang tidak baik juga. Hanya memang, karma selama ini selalu dikaitkan dengan perbuatan tidak baik yang dilakukan seseorang.
Pengalaman Karma
Salah satu pengalaman karma yang saya alami sendiri adalah
saat bapak saya sakit di tahun 2007, lalu akhirnya meninggal di tahun 2008.
Sebenarnya saya tidak ingin menceritakan karma tidak baik seseorang, tapi saya pikir ini bisa jadi
pelajaran, terutama bagi saya untuk lebih hati-hati berbicara bersikap agar
tidak melukai hati orang lain.
Lanjut cerita ya. Jadi saat bapak saya sakit itu, kurang
bisa tenang istirahat. Padahal di rumah sendiri dan di kampung halaman sendiri.
Itu karena kalau siang ada remaja yang latihan band di sebelah rumah. Kebetulan
rumah itu itu kosong karena pemiliknya sudah meninggal. Nah anak yang main band
itu merupakan anak dari keponakan pemilik rumah.
Siang berisik, malam pun tatap berisik. Kalau malam giliran bapaknya
yang latihan angklung sampai tengah malam. Sebenarnya kalau merasa terganggu,
pasti warga sekitar juga terganggu. Hanya karena mereka tidak berani menegur kepala
desa. Padahal di sekitar situ ada juga bayi yang baru lahir. Tapi begitulah,
mereka mencari aman sendiri, walau d belakang mengomel juga hehehe.
Akhirnya karena tidak bisa ditolerir, maka siang itu saat
latihan band, ibu saya langsung mendatangi maksudnya hanya sekadar memberitahu
saja. Eh, bapaknya tidak terima dan malah marah. Katanya, perempuan kok lawan
laki-laki. Makanya jangan di dalam terus nonton sinetron. Lah.. ada orang sakit,
masa mala mengobrol ngalor ngidul di luar hahaha.
Malam harinya, dari arah samping terdengar suara keras
sekali. Sepertinya ada sesuatu yang dilempar ke rumah saya. Saat saya periksa
pagi harinya, benar, saya menemukan batu sebesar kepalan tangan orang dewasa.
Sepertinya niatnya ingin melempar batu untuk menghancurkan kaca jendela. Tapi
mungkin terkena bingkai jendela. Alhamdulillah Allah SWT masih melindungi.
Pagi-pagi istrinya malah bergosip, “eh, tau tidak ada
ribut-ribut kemarin sore blablabla...” Duh, bikin sakit hati sih. Tapi saya dan
keluarga tak berdaya. Bahkan nenek saya yang masih hidup saja, bahkan
saudara-saudara Bapak saya juga tidak mendukung. Malah ipar Bapak saya bilang ini, “Itu kan Pak.... benci sekali dengan Ibumu.” Mungkin baru ada perempuan
yang melabraknya selama jadi kepala desa ya.
Mengalah Pergi
Karena kondisi yang tidak memungkinkan, akhirnya keluarga
memutuskan membawa bapak saya ke Jakarta. Tidak apa kami yang mengalah. Walau
sebenarnya Bapak saya lebih tua dan penduduk asli desa sana. Hari ini dengan
sudah payah saya membawa bapak saya naik kereta selama 8 jam sampai ke Jakarta.
Sampai saat ini, masih melekat kuat ingatan saat bagaimana Bapak saya gelisah
dalam perjalanan. Apalagi sudah dalam kondisi struk ringan.
Pagi itu 19 Januari 2008, Bapak saya terbangun seperti
biasanya. Hanya hari itu matanya kosong dan tidak bersemangat. Tidak mau makan.
Hanya melihat ke sekeliling. Dan akhirnya sorenya meninggal di tangan saya.
Bapak saya meninggal di angka 19, angka kesukaannya.
Kezaliman Masih Terjadi
Setelah Bapak saya meninggal, kezaliman kepala desa masih
berlanjut. Sebenarnya saya malam berhubungan dengan kepala desa itu. Hanya
karena segala surat-surat harus ada tanda tagan kepala desa, jadi saya kuatkan
hati dan diri saja. Sabar.. sabar...
Saat ibu saya minta tanda tangan surat keterangan, dia tidak
mau tanda tangan. Tapi saya dan saudara-saudara saya terus mendesak. Apalagi
berkas itu harus segera dikirim ke ASABRI Semarang. Pokoknya kalau tidak mau,
saya lapor ke kelurahan. Akhirnya ditanda tangani.
Terus saat itu ibu saya butuh tanda tangan untuk surat
pengantar ambil gaji. Pagi itu saya ke balai desa, tapi dia belum datang. Karena
dikejar waktu, akhirnya saya samperin ke rumahnya. Saat dia keluar, saya sudah
lihat wajahnya tegang, lalu saat saya bilang mau minta tanda tangan, langsung
dibentak, “Dikantor saja... Baiklah sabar-sabar. Untunglah Bapak saya ini
seorang tentara. Jadi kalau soal suara keras dan dibentak, saya sudah biasa
hahaha.
Bahkan anak bungsunya juga mulai belagu. Jadi suatu saat
saya tarawih di musala. Nah, saya pas berada di shaf di belakangnya. Selesai
salat, para tetangganya disalamin, saya dilewati hahaha, Yo wis tidak apa-apa
hehehe.
Karma Mulai datang
Waktu terus berlalu, tahun kemudian, kepala desa itu tidak
menjabat laig menjadi kepala desa, ini karena sudah priode. Dia pun kembali menjadi warga sipil.
Saya pun tidak terlalu banyak berinterasi, Pokoknya kalau bisa menghindar,
menghindar
Sampai suatu ketika, tiba-tiba istrinya mendadak ke Jakarta. Kabarnya anaknya sakit
tipes di Jakarta. Beberapa ari kemudian istrinya pulang, karena anaknya sudah
sehat katanya. Mungkin juga belum sehat benar, hanya karena istrinya ada tugas
mengajar, jadi tidak bisa cuti lama.
Namun seminggu kemudian, kabar mendadak datang. Anaknya yang
sakit itu meninggal. Sorenya mobil ambulan yang membawa anaknya tiba. Saya
lihat si mantan kepala desa itu sangat terpukul.
Sejak anaknya meninggal, kayaknya kondisinya mulai berubah.
Apalagi di hanya di rumah saja. Usaha kerajinan anyaman pandan miliknya juga tidak
berkembang. Sampai akhirnya sakit, dan meninggal
Saya sih tidak pernah menyumpahi, ya. Tapi menurut saya
karma sudah berjalan. Tapi namanya manusia biasa. Saya pernah berujar, kalau
kurang menderita dia. Harusnya dibuat struk juga, jadi merasakan. Tapi kata
kakak saya, eh, mana kamu tahu, kalau dia sudah mendapat balasan. Benar juga
sih.
Ternyata karma itu terus berlanjut. Istrinya itu beberapa
bulan lagi akan pensiun. Kabarnya dia sudah merencanakan menikmati masa
pensiunnya. Tapi ternyata covid datang dan akhirnya meninggal.
Sekali lagi cerita ini hanya sebagai pengingat ya, terutama
bagi saya. Bahwa saya ahrus hati-hait dalam erbcaa dna berbuat. Jangan sampai
menyakiti hati orang. Karena semua itu ada karmanya. Apa yang kita tanam,
itulah yang kita tuai. Bisa juga dulu Bapak saya pernah berbuat sesuatu pada
orang lain di masa hidupnya, dan akhirnya mendapat karma juga saat sakit.
Terus saat ada orang menyakiti kita, tenang saja. Bisa saja
dia sudah mendapat balasan, tanpa kita ketahui. Allah SWT itu maha adil dan
hakim yang paling adil.
Bambang Irwanto
Saya pribadi tidak terlalu mengenal si karma tapi memang saya pun punya keyakinan bahwa setiap perbuatan kita ada hasilnya, entah itu baik ataupun buruk tergantung yang telah kita lakukan.
ReplyDeleteJadi penting untuk mengetahui kualitas diri kita untuk meminimalisir dampak atas perbuatan kita kelak Saya pun menerapkan untuk selalu berbuat baik dan bersyukur di kehidupan sosial saya agar hasil baik yang akan selalu saya dapatkan. Setuju kan mas heheee
Turut berduka buat bapaknya ya mas. Semoga mendapat tempat terbaik di sisi Allah.
ReplyDeleteKarma itu memang nyata adanya. Tapi sayang masih banyak yang abai dengan hukum tabur tuai ini, sehingga banyak dari mereka yang suka seenaknya kepada orang lain. Bahkan saat kemalangan menimpanya pun masih tidak sadar jika bisa saja itu akibat dari perbuatannya yang menyakiti orang lain. Semoga kita tidak termasuk golongan itu ya mas
Setiap hal yang dilakukan dalam kehidupan ini pastinya ada balasannya. Mau itu berbuat baik, apalagi yang berbuat buruk. Terlebih idterangkan dengan gamblang pula di dalam Al Quran. Sehingga memang sebaiknya berbuat yang lurus, biar hidup lebih tenang
ReplyDeleteJadi inget alm ibunda yang gak mau ikut bergosip, apalagi ngegibahin anak gadis yang kawin lari, MBA, nakal dsb
ReplyDeleteKata beliau: "saya punya 2 anak perempuan, dan saya gak punya nasib buruk menimpa anak-anak saya
Andai semua orang menyadari adanya karma ya? yang terjadi karena "sebab akibat", "ada asap ada api", walau cuma bergosip sebaiknya tidak dilakukan
Kalau saya menyebutnya kualat, hehehe.
ReplyDeleteSama aja ya :D
Jujur, inilah alasan mengapa saya sekarang lebih sering diam ketika mengetahui masalah orang lain, paling banter ya saya semangatin atau doakan.
Karena takut salah ngomong trus kualat, hiks
hmmm, walaupun diajaran agama gak ada soal karma, tapi yang jelas sih apapun yg kita katakan dan perbuat pasti akan ada sebab akibatnya, jadi memang jadi pribadi terbaik ajalah ya
ReplyDeleteSubhanallahuu..
ReplyDeleteHidup itu memang kudunya tepa slira yaa, mas Bams.
Masalahnya adalah gak setiap masa manusia berada di atas. Kadang kalau sudah di bawah, kita juga butuh orang lain, terutama keluarga dan tetangga, circle yang paling dekat dengan kita. Jadi, kudu banget peduli dengan lingkungan.
Aku tadinya mau bilang kalau mas Bams ini orangnya sabaaarr sekali.
Terlihat dari cara pemilihan kata dalam tulisannya.
Semoga Allah berikan banyak kebaikan untuk mas Bams sekeluarga.