} Pieter - Bambang Irwanto Ripto

Pieter

    
Ilustrasi Lily Zhai

      "Ayo, Bugy! Tangkap bolanya!" teriak Pelipe sambil melempar bola warna-warni di tangan kirinya.

         Bola berwana merah, kuning, hijau dan biru itu langsung melesat ke udara. Bugy berlari menyongsong bola. Buk... Bola jatuh ke tanah. Bugy tidak berhasil menanagkap bola itu.

          "Yaah... Bugy. Padahal aku melempar tidak teralu keras," kata Pelipe sedikit kecewa, lalu berlari menghampiri Bugy. "Kita istirahat dulu Bugy! Kamu mungkin lelah."

          Pelipe duduk di anak tangga teras rumahnya. Bugy ikut meringkuk di sana. Sesekali Pelipe mengoyang-goyangkan kepalanya, hingga kedua ekor kuncirnya bergoyang-goyang. Udara siang ini memang panas sekali. Pelipe kegerahan.

           Tiba-tiba sebuah mobil pick up warna hitam berhenti di depan rumah Pelipe. Gadis kecil itu segera berdiri menyambut. Siapa ya, tamu yang datang, gumam Pelipe dalam hati.

           Tidak lama dari dalam mobil turun seorang Bapak. Rambutnya ikal, berkumis, dan berjanggut. Lalu turun juga seorang Ibu yang wajahnya sangat manis. Eh, tidak lama turun anak laki-laki yang sepertinya seusia Pelipe.

           "Halo, anak manis! Benar ini rumah Pak Arlon?" tanya Bapak Itu.
           Pelipe tersenyum manis. Sepertinya Pelipe senang sekali, karena Bapak itu mengatakan ia anak manis.

            "Benar, Pak! Pak Arlon itu Papaku," jawab Pelipe.

            "Good. Apa Papamu ada di rumah?"

            "Ada, sebentar aku panggilkan!"

            Pelipe segera berlari masuk ke dalam rumah. Ia segera mencari Papanya. Ternyata Papa sedang asyik duduk di tepi kolam ikan di halaman belakang. Kalau hari minggu, Pak Arlon memang suka memberi makan ikan mas koi kesayangannya.

            "Papa, ada yang mencari Papa!"

            "Siapa, Peli? tanya Pak Arlon.

            Pelipe mengangkat kedua bahunya. Ia jadi kebingungan. Tadi Pelipe memang lupa menanyakan nama tamu yang datang.

            "Ya, sudah. Papa segera ke depan menemui tamu itu. Tapi lain kali, jangan lupa menanyakan nama tamu yang datang," Papa menjawil pelan pipi kanan Pelipe.

            Pelipe tersenyum. Baik, Papa," jawab Pelipe sambil mengikuti langkah Papa ke depan rumah.

           "Wow.. Andrew. Kejutan sekali!" Seru Papa begitu melihat siapa tamu yang datang. Papa segera menyongsong Bapak itu. Mereka lalu berpelukan.

           Ehm, sepertinya Papa sudah mengenal tamu itu, gumam Pelipe dalam hati.

            Ternyata Bapak itu bernama Andrew, teman Pak Arlon. Mereka teman lama semasa masih kuliah.

          "Aku sengaja tidak memberitahumu. Biar kejutan," kata Pak Andrew sambil tertawa. "Dan aku punya kejeutan lain."

          "Wah, apakah itu?" tanya Pak Arlon penasaran.

          Mulai besok, aku akan bekerja di sini membantumu."

         "Hohoho... harusnya kamu mengabariku. Jadi istriku bisa masak hidangan  istimewa untuk kalian."

           "Tak apa. Oh iya, ini Jane, istriku. Dan itu Pieter, jagoanku. Umurnya 7 tahun."

           "Wah, sama dengan umur Pelipe. Mereka akan jadi teman sekelas juga. Itu Pelipe, putriku yang lucu," canda Papa. "Ayo, Peli! Kenalan dengan Pieter!"

           Pelipe tersenyum menghampiri anak laki-laki berambut cokelat itu. Pelipe mengulurkan tangannya. Tapi Pieter diam saja.

          "Kok tidak salaman dengan Pelipe, Pieter?" tanya Bu Jane.
             
          "Tidak mau. Tangannya pasti kotor. Dia kan habis main dengan babi," jawab Pieter ketus.
Pelipe langsung cemberut.

                                                                             @@@

         "Pelipe, ada Pieter di luar. Sana ajak main!" suruh Mama.

          Pelipe hanya menggeleng. Ini sudah ketiga kalinya, ia menolak bermain bersama Pieter.

          Kening Bu Wirnie berkerut. "Lho, kenapa? Kalian itu bertetangga. Besok senin  juga akan sekelas."

         "Pieter sombong, Ma. Waktu perkenalan, ia tidak mau menjabat tanganku. Pieter tidak suka Bugy."

          "Oh, mungkin pieter belum terbiasa. Ia kan selama ini tinggal di kota besar. Ayo, temui Pieter! Kasihan Pieter. Mamanya kan, sedang pergi ke kota."

           Dengan malas, Pelipe keluar rumah. Tampak Pieter sedang duduk di kursi teras rumah Pelipe.

           "Kamu sombong, diajak main saja tidak mau," kata Pieter saat Pelipe keluar rumah.

           "Enak saja. Kamu yang sombong. Kenalan saja tidak mau salaman. Kalau kamu tidak suka Bugy, aku juga tak suka padamu," tukas pelipe.

          "Uuh.. ya, sudah. Apa enaknya main sama anak perempuan. Juga main sama babi," kata Pieter. "Aku mau main sendiri saja."

            Pieter lalu berlari keluar halaman rumah Pelipe. Gadis kecil itu duduk di kursi teras. Tampak Pieter mendekati pohon mangga yang  tidak dari rumah pelipe. Tidak lama, Pieter mulai memanjat pohon mangga.

             "Hei.. jangan naik pohon mangga. Nanti kamu jatuh!" Pelipe mengingatkan. Soalnya Papa dan Mama selalu melarang Pelipe naik pohon mangga itu.

            Pieter tidak menghiraukan ucapan Pelipe. Ia terus memanjat pohon. Sebentar saja, Pieter sudah sampai di dahan pohon. Dengan entengnya, ia duduk di dahan itu.

            "Kamu dilarang naik pohon karena kamu anak perempuan," Pieter tertawa keras. "Coba kamu naik kalau berani!"

           Pelipe memajukan mulutnya. Ia kesal mendengar ucapan Pieter itu.

          "Aku memang tidak bisa manjat pohon. Tapi aku jago main lompat tali."

          Pieter tertawa lagi. "Itu kan memang permainan anak perempuan. Kamu jago main bola tidak? Jago balap sepeda tidak? Jago...."

          Kreeeak... tiba-tiba ada yang berbunyi.

        "Cepat turun! Dahannya mau patah!"

         Hug..hug..hug.. tampak Bugy mendengus-dengus di bawah pohon.

        "Segera usir babimu itu!"

        "Itu tandanya, Bugy juga menyuruhmu turun!" tukas Pelipe.
Pieter malah tertawa-tawa. Sesekali ia mengoyang-goyangkan tubuhnya. Dahan mangga yang diduduki Pieter patah. Buk... tubuh pieter melayang lalu jatuh tepat di atas tubuh Bugy.

        "Ya, Tuhan!" jerit Pelipe sambil menghampiri Pieter. "Kamu tidak apa-apa?"

        Pieter nyengir. "Iya. Untung ada bugy. Kalau tidak, aku sudah jatuh ke tanah."


        "Makanya, jangan tidak suka pada Bugy. Bugy suka menolong tahu," tukas Pelipe.

        Pieter tersipu malu. "Terima kasih, Bugy!" ucap Pieter sambil mengelus punggung Bugy.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pieter"

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.