Ada
sebuah apotek. Dulu saya selalu membeli obat di sana. Soalnya obatnya selalu
baru dan lebih murah (sedikit).
Namun
sejak beberapa bulan lalu, saya mulai jarang membeli obat di sana. Kenapa? Apa
obatnya mulai mahal? Apa obatnya sudah tidak baru?
Bukan,
saya tidak suka dengan para pelayan apoteknya. Menurut saya (ini menurut saya,
ya...) pelayan apoteknya kurang ramah dan kurang menghargai pembeli. Saya
pribadi, sangat setuju dengan pepatah “Pembeli adalah Raja”, jadi harus
dilayani dengan baik. Ya, saya datang memberi rezeki kepada mereka. Jadi saya
ingin, mereka melayani saya dengan baik hehehe.
Misalnya
ya, saat saya (dan mungkin pembeli lain) masuk apotek itu, disambut dengan
ucapan, "Cari apa?"
Dulunya
saya kira, ini karakter satu pelayan apotek saja. Mungkin dia kurang piknik.
Apalagi usianya mungkin masih dua puluh ke atas. Ternyata di hari lain saya
membeli obat, dan yang lain melayani, ternyata sama. Padahal, harusnya disertai
kata sapaan. Pak, Bu, Mas, Mbak, Kak atau Dek. Menurut saya, adanya kata
sapaan, membuat ucpan lebih sopan.
Kedua,
wajah mereka saat melayani pembeli itu (menurut saya lagi) masam benar hahaha.
Senyum kek, biar terkesan manis dan ramah di mata pembeli. Sebagai orang yang
berhubungan langsung dengan pembeli, memang seharusnya dipilih orang-orang yang
ramah. Kalau wajah kan, relatif, ya. Inner
beauty, bisa mengalahkan cantik dari luar cailah...
Ketiga,
kesannya malas hahaha. Bila kita bertanya suatu obat, dan kebetulan obat itu
tidak tersedia, pelayannya cuma menggelengkan kepala dengan wajah datar hahaha.
Apa susahnya ya, bilang lagi kosong atau tidak ada.
Suatu
hari nih, saya sedang membeli obat. Kebetulan ada seorang Ibu juga sedang
membeli obat. Eh... dua pelayan apotek itu malah bisik-bisik di hadapan
pembeli, lalu cekakak-cekikik. Waduh... ini bisa membuat orang tersinggung,
walau yang dibisik-bisikin itu hal lain, dan tidak ada hubungan dengan pembeli
di hadapan mereka.
Begitulah..
akhirnya, saya malas membeli obat di apotek itu. Makanya tidak heran, kalau apotek
itu sekarang tak seramai dulu. Apalagi sekarang apotek baru sudah bermunculan.
Pembeli bebas membeli di apotek mana saja. Walau memang sih, tidak ada paksaan
saya harus selalu membeli di sana.
Cerita
di atas, memang nyata saya alami sendiri. Tapi di sini, saya bukan berniat
mencemarkan nama nama baik apotek itu. Yang saya ingin share adalah soal
attitude pelayan apoteknya. Masalah attitude itulah yang membuat saya dan
mungkin pembeli lain malas membeli di sana lagi.
Nah
saya bandingkan dengan apotek yang satu lagi, ya! Begitu saya datang disambut
ramah, "Cari obat apa, Pak?", “Cari obat apa, Mas?”, “Ada yang bisa
dibantu, Pak?”
Saat
melayani juga ramah dan diakhiri ucapan terima kasih. Bahkan kemarin saya cari
obat racikan, dan kebetulan tidak ada. Eh.. saya malah ditunjukan tempat lain.
Jadi
soal attitude itu memang sangat penting. Termasuk dalam dunia menulis, lho.
Soalnya banyak teman yang belum memperhatikan hal ini. Misalnya, langsung main
inbox, tanya ini itu, tanpa ada salam. Bahkan setelah dibantu, tidak ada ucapan
terima kasih hehehe. Kalau teman begini, biasanya langsung saya remove hehehe.
Makanya saat berbagi di kelas kurcaci pos,
saya tidak hanya berbagi soal pengalam menulis saya (yang masih seuprit), tapi
juga seputar dunia menulis, termasuk attitude. Bagaimana etika mengirim naskah.
Bagaimana bekerja sama dengan penulis, ilustrator, dan editor. Termasuk etika
bermedia sosial. Karena bagi saya, penulis bagus, tapi attitude kurang, maka
cepat tenggelam. Penulis bagus, attitude bagus, maka akan disayang semua orang
hehehe.
Khususnya
bagi penulis anak-anak yang belajar di kelas Kurcaci Pos, hal ini juga saya
tekankan. Misalnya bagaimana mereka menyapa editor, sabar menunggu jawaban dari
editor, tahu jam-jam bertanya, dan sebagainya.
Begitu
juga dengan dunia ilustrasi yang erat hubungannya dengan dunia menulis. Saya
mengamati (sesuai pengalaman saya, ya!) beberapa ilustrator muda yang karyanya
bagus, tapi atitudenya kurang.
Misalnya,
saya pernah kerjasama dengan seorang ilustrator. Proses buku tersendat, karena
dia lambat progresnya. Katanya sibuk, padahal saya lihat banyak menghadiri
acara hehehe. Diinbox hanya dibaca tidak pernah dibalas hahaha. Kasihan deh,
saya.
Pernah
juga saya ada proyek buku bersama beberapa penulis lain. Ada ilustrator yang
malas sekali menulis pesan. Kalau kirim gambar, cuma langsung kirimgambar saja.
tanpa salam AIUEO. Giliran saya balas dengan kalimat, tidak dibalas hahaha.
Ada
juga, ilustrator yang ditunggu-tunggu, tidak ada kabarnya. Diinbox, dicolek,
tidak ada respon. Padahal sosial medianya aktif.
Ada
juga yang pernah menghilang tanpa jejak. Diibok sebgaja tidak dibuka, padahal
dia online sepanjang hari.
Soal
ini berpengaruh lho. Misalnya penulis bagus tapi atitudenya kurang, pasti
editor akan malas mengajak kerjasama lagi. Begitu juga ilustrator. Kabar ini
akan menyebar dari editor satu ke editor lainnya, dari penulis satu ke penulis
lainnya, dari ilustrator satu ke ilustrator lainnya. Akhirnya, menutup rezeki
sendiri.
Makanya
jangan heran, penulis yang tulisannya bagus, atitudenya keren, akan jadi incaran
dan kesayangan banyak penerbit dan editor. Akhirnya karena banyak yang incar,
karyanya juga banyak.
Demikian
cerita saya soal attitude. Tulisan ini lebih tertuju pada diri saya, agar
selalu menjaga attitude. Tapi kalau sesuai dengan teman-teman, Alhamdulillah.
Salam semangat menulis, ya...
Bambang Irwanto
Bambang Irwanto
0 Response to "Kali Ini Cerita Tentang Attitude"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.