} Cerpen : Pulang - Bambang Irwanto Ripto

Cerpen : Pulang

Cerpen : Pulang - Kereta Api Sawung Galih yang aku tumpangi, baru saja keluar dari terowongan panjang Ijo. Sebagian penumpang dalam gerbong, mulai berkemas, menuruni barang dari tempat barang di atas kursi, lalu mulai berjalan ke arah pintu keluar. Sebentar lagi kereta akan berhenti di stasiun Gombong.

Foto Bambang Irwanto


Rata-rata wajah mereka terlihat gembira, disertai senyum tersungging di bibir mereka. Mudik memang selalu menyenangkan. Tapi tidak bagiku. Aku justru menghindari pulang ke kampung halaman Bapakku ini. Aku memilih untuk tetap duduk sambil sesekali melihat hamparan sawah dari balik jendela.

“Kamu harus ke Gombong, Kinan! Sudah tiga tahun kita tidak menengok makam Bapakmu,” begitu kata Ibu saat aku sedang menonton serial korea kegemaranku.

“Aku lagi banyak tugas kantor, Bu!” Ibu mungkin bosan mendengar alasanku seperti itu. Karena sejujurnya, tidak pernah terbersit keinginan untuk pulang ke Gombong.

“Sempatkan sabtu dan minggu bulan depan. Kamu toh tidak berlama-lama di sana. Cuma sehari,” kali ini Ibu seakan memberi ultimatum. Padahal biasanya Ibu diam saja, kalau aku sudah mengemukakan alasanku yang klise itu. “Atau Ibu saja yang pulang?”

Aku menoleh dan menatap wajah Ibu yang masih ayu di usianya yang ke 60 tahun. Aku sudah Ibu, kali ini Ibu akan mengeluarkan senjata pamungkasnya.

“Bukankah sudah aku katakan, Bu! Ibu tidak boleh lagi pulang ke Gombong. Aku tidak mau melihat Ibu menangis lagi,” tukasku.

“Kalau begitu, Pulanglah! Kalau kamu sayang pada Ibu dan almarhum Bapakmu,” Ibu lalau bernajak meninggalkan aku.

Lama aku terdiam membisu. Tiba-tiba terjadi pergolakan dalam batinku. Dan butuh waktu lama, sampai aku memutuskannya.

***

Foto Bambang Irwanto


Kereta api sawung Galih melambatkan lajunya. Stasiun Gombong sudah nampak. Dengan langkah malas, aku menuju pintu keluar.

Sinar mentari sore, menyambutku begitu turun dari gerbong kereta. Bergegas aku menuju pintu keluar stasiun Gombong. Aku hanya tersenyum sambil menggeleng, saat beberapa tukang becak dan tukang ojek menawariku jasa tumpangan. Tadi Bulik Tarti sudah sms, kalau Pak Parmin, tetangga belakang rumahku itu, akan menjemputku di stasiun.

“Mbak, Kinanti!” sebuah suara memanggilku, tepat saat aku keluar stasiun.

Tampak Pak Parmin mendorong becakmotornya menghampiriku . Aku agak pangling melihat Pak Parmin. Tubuhnya lebih kurus dan rambutnya sebagian sudah memutih.

“Mana barang bawaannya, Mbak?”

Aku tersenyum. “Cuma satu tas tangan dan sedikit oleh-oleh kok, Pak.”

Aku cuma sebentar di sini, jadi tidak perlu membawa barang. Apalagi baju lamaku masih tersimpan rapi di lemari rumah.

Pak Parmin mengangguk, lalu mempersilahkan aku naik ke becak motornya.

Becak motor melaju sedang menyusuri jalan kota Gombong. Jalanan cukup ramai sore ini. Selain becak, sepeda, dan motor, jalanan propinsi ini juga di isi bus-bus antar kota. Aku lihat, banyak bus jurusan kutoarja dan Jogya.

Sejenak aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Kota Gombong sudah mulai berkembang. Banyak toko baru dan para pedagang aneka makanan. Sebenarnya tinggal di Gombong cukup nyaman. Tidak macet dan harga makanan masih murah. Jarak desa Tegalrejo dengan kota Gombong juga dekat.

Sepuluh menit kemudian, becak motor berbelok masuk ke jalan menuju desa Tegalrejo. Aku menikmati sawah yang mulai menguning. Hembusan angin sore menerpa wajahku.  Aku terdiam membisu. Dan tanpa aku minta, potongan-potongan kisah lalu terulang kembali.

                                                                   ***

Foto Bambang Irwanto

“Bapak Ingin pindah ke Gombong, Bu!” begitu ucap Bapak, di suatu sore, saat kami bertiga duduk bersama sambil menikmati pisang ijo buatan Ibu. “Bapak sudah lama merantau. Bapak ingin menghabiskan masa tua di kampung halaman,” begitu alasan Bapak.

Aku berhenti mengunyah pisang raja berbalut adonan tepung beras berwarna ijo itu, dipadu adonan bubur sumsum, lalu ditambah sirup merah pisang ambon khas Makassar. Aku menoleh kepada Ibu.

“Tapi kita sudah nyaman tinggal di Makassar, Pak! Tetangga semua baik dan teman-teman pensiun Bapak semua di sini.” Ibu memberi alasan. Dan aku tahu, ibu juga tidak setuju.

“Iya, Pak. Teman-temanku juga semua di sini,” tambahku yang lahir dan besar di kota Anging Mamiri. Walau kami perantauan, tetapi semua tetangga baik seperti saudara.

“Kamu harus mengerti, Kinan. Ini cita-cita Bapak sejak dulu. Apalagi Embah puterimu masih hidup. Bapak sudah berpuluh-puluh tahun merantau. Tugas Bapak sudah selesai, sebagai tentara dan menyekolahkanmu sampai lulus perguruan tinggi. Nah, Bapak Ingin menikmati masa pensiun dengan tenang dan kamu bekerja di Jakarta saja. Jadi lebih dekat dari kampung.”

Ibu dan aku tidak kuasa menahan keinginan Bapak. Aku dan Ibu sangat menghargai Bapak sebagai kepala rumah tangga. Kami tidak mau, bila suatu saat terjadi sesuatu, sebelum keinginan Bapak itu tercapai.

Akhirnya di penghujung tahun 2004,  Kami pindah, setelah rumah di Makassar terjual. Bapak pun membangun rumah di tanah warisannya.  Aku merantau ke Jakarta dan diterima di sebuah tempat kebugaran sebagai repsionis. Bagiku tidak masalah, walau tidak nyambung dengan ijazah sarjana teknik yang aku punya. Bagiku sebagai batu loncatan dan menambah pengalaman.

Akhirnya aku hidup terpisah. Walau jarak Jakarta-Gombong hanya 6 jam mengunakan kereta Api, namun aku selalu rindu kepada Bapak dan Ibu. Hampir dua bulan sekali aku pulang. Terkadang malah Bapak dan Ibu yang menjengukku di Jakarta.

Namun sayang, masa-masa indah itu, hanya dua tahun kami nikmati. Tahun ketiga, masalah mulai datang. Bapak mulai bingung mau melakukan apa di tanah kelahirannya. Selama ini Bapak selalu sibuk menjadi pengawas proyek Zeni Wirabuana 7 Makassar. Sedangkan Bapak tidak bisa bertani atau berkebun. Akhirnya Bapak sakit struk. Aku Tidak mungkin bolak-balik Jakarta-Gombong. Terpaksa aku keluar dari pekerjaanku.

Tahun itu adalah masa-masa yang paling sulit bagi kami. Biaya rumah sakit sangat mahal, sehingga aku dan Ibu memutuskan merawat Bapak di rumah. Obat-obat untuk Bapak, harganya sangat menguras kantong. Satu persatu perhiasan aku dan Ibu harus dijual. Sekuat tenaga, aku dan Ibu merawat Bapak.

Kami sudah berusaha. Namun lingkungan tidak mendukung. Hampir setiap hari, dari rumah sebelah terdengan suara latihan musik yang dikoordinator oleh Pak Sularso. Kalau siang hari, anaknya yang latihan band bersama teman-temannya, sedangkan malamnya, setelah shalat isya, gantian Pak Sularso dan anggotanya. Padahal rumah itu bukan milik Pak Sularso, tetapi milik almarhum Embah Sidik, Pamannya Pak Sularso.

Bagaimana Bapak mau sembuh. Untuk istirahat saja tidak bisa. Keluarga Bapak yang tinggal di sekitar rumah pun, tidak ada yang bertindak menolong. Mereka seakan tunduk pada kekuasaan Pak Sularso.

Aku dan Ibu coba bersabar, namun akhirnya kesabaran itu tak terbendung lagi.
Sore itu, sehabis memandikan Bapak, mulai kembali terdengar suara latihan musik. Bapak terlihat gelisah. Ibu segera mendatangi rumah sebelah, tempat latihan musik, sedangkan aku diminta menemani Bapak.

Aku tahu, ada sejuta amara di dada Ibu. Dan aku sangat mengerti. Seorang istri akan melakukan hal itu.

“Pak, minta tolong! Suami saya sakit. Jangan tiap hari latihan musik.” Aku mendengar suara ibu.

Seperti dugaanku, Pak sularso marah. “Memangnya kenapa? Latihan juga di rumah sendiri.”

“Ini bukan rumah Pak Sularso. Ini Rumah Embah Sidik. Sebagai orang terpelajar dan kepala desa, harusnya Bapak mengerti, ada warganya yang sakit. Apalagi masih ada hubungan saudara.”

Aku keluar dan meninggalkan Bapak sendirian di kamar. Dari teras rumah, aku melihat Ibu dan Pak Sularso bertengkar. Para tetangga mulai ramai berdatangan.

“Perempuan kok berani lawan laki-laki,” terdengar suara lantang Pak Sularso. Seakan menandakan, dialah orang yang paling berkuasa di desa ini. Mungkin pantangan baginya, seorang wanita melawan laki-laki, dan harus terus tunduk. “Kalau hanya pendatang, tidak usah macam-macam.”

Ternyata Ibu tak gentar. Sebagai istri seorang tentara, Ibu sudah terbiasa di medan pertempuran lingkungan hidup. Semua tetangga hanya bisa melongo. Mungkin Ibulah, wanita pertama yang menentang Pak Sularso.

“Suami saya asli desa sini. Lahir di sini. Pak Sularso itu umurnya jauh di bawah suami saya.”

Tampak Pak Sularso hendak menggampar ibu. Namun para tetangga sudah menariknya. Ibu pun disuruh pulang oleh tetangga.

“Makanya bergaul, jangan di dalam terus nonton sinetron,” oceh seorang teman Pak Sularso.

Darahku seakan mendidih. Bagaimana mau keluar rumah, kalau aku dan ibu sibuk mengurus Bapak. Seharusnya mereka bisa menempatkan diri di posisi aku dan Ibu.

Hatiku sakit sekali. Disaat bersamaan dua orang yang aku cintai tengah sakit dalam kondisi berbeda. Aku menangis dan langsung memeluk Ibu, saat beliau pulang ke rumah.

“Sabar ya, Nan! Tuhan sedang menguji iman kita,” Ibu mengelus rambutku. Aku bisa merasakan, dada Ibu bergetar menahan sedih. Tapi pastinya, sekuat tenaga ibu menahan, agar tidak menangis.

Dan ternyata, kesabaran aku dan Ibu masih harus diuji. Malam itu sekitar pukul sebelas malam, tiba-tiba terdengar suara keras dari jendela samping. Praaaak..

“Suara apa itu, Bu?”

Kami segera memeriksa samping dan menemukan sebuah batu sebesar kepalan tangan orang dewasa. Rupanya ada orang yang melempar dari samping dan sasarannya kaca jendela. Namun Tuhan masih sayang padaku dan Ibu. Batu itu hanya mengenai bingkai kayu jendela.
“Segera kemasi baju-baju kita, Nan!” Besok kita tinggalkan desa ini. Kita akan ke rumah Tante Harjo di Tangerang.”

“Kenapa kita harus pergi, Bu? Bukankah ini rumah kita?”
“Kita yang mengalah, Nan! Biarkan kita yang mengalah,” Ibu mengusap airmatanya yang tidak bisa ditahannya lagi.

***
“Sudah sampai, Mbak.” Suara Pak Parmin menghentikan cerita masa lalu itu.
Aku tersentak, lalu meraba pipiku yang sudah basah airmata.

“Maturnuwun ya, Pak!” aku menyerahkan tiga lembar uang sepuluh ribu, sebelum aku turun dari becak.

“Sami-sami, Mbak Kinanti!”

Aku turun dari becak, lalu pelan-pelan memasuki halaman rumah. Bulik Tarti menjaga rumah ini dengan baik. Sebagai tanda terima kasih, setiap bulan aku mengirim uang sebagai pembeli sayur kepada adik bungsu Bapakku itu. Aku tidak perlu menunggu Bulik Tarti, karena aku mempunyai kunci serep.

Kreek, pintu rumah terbuka. Aku memasuki ruang tamu. Semua perabot masih tertata saat aku dan Ibu meninggalkan rumah ini.
Aku memandang foto Bapak di dinding. Beliau terlihat gagah dengan pakaian Angkatan Daratnya. Namun rasanya wajah Bapak difoto itu terlihat pucat. Dan hampir setahun wajah itu aku lihat, sampai akhirnya Bapak meninggal di Jakarta.

“Bapak ingin pulang kampung dan meninggal di sana, Kinan!” aku ingat sekali ucapan Bapak sebelum kami pindah.

Aku mengelus foto Bapak. “Ya, Pak. Keinginan Bapak sudah terkabul. Beristirahatlah dengan tenang.”

“Kinan... Kinanti!” aku mendengar suara memanggilku. Segera aku keluar. Ternyata Bulik Tarti.

“Maaf, ya. Lilik tidak menyambutmu. Tadi Lilik dari rumah sakit.”

“Siapa yang sakit, Lik?”

“Pak Sularso. Sakit struk. Sudah parah sih, sudah lumpuh dan tidak bisa ngomong lagi. Pokoknya setahun ini suami istri keluar masuk rumah sakit. Sawahnya sudah dijual semua, untuk biaya berobat. Kabarnya malah punya utang bank. Sampe gering awakke.”

Aku menarik napas dalam-dalam. Sejujurnya aku tidak ingin mendengar kabar Pak Sularso lagi.

***   
“Kamu harus bisa memaafkan, Ti!” begitu kata Ibu saat aku menelpon beliau.     
Sejam lalu Lik Tarti datang mengabarkan, kalau Pak Sularso meninggal dan jenazahnya sudah di senamayamkan di rumah. Besok baru dikubur.

“Tapi, Bu,” hatiku belum ikhlas. Rasanya masih sakit sekali.”

“Pergilah takziah. Di lemari masih ada kerudung hitam dan baju muslim. Tuhan sudah cukup menghukum Pak Sularso. Jangan kamu tambah penderitaannya. Berikan maafmu, agar jalannya lapang  menuju ke rumah barunya.”

“Aku akan coba ya, Bu! Tolong doakan aku.”

Kini aku menyadari. Mungkin kepulanganku ke Gombong kali ini, bukan hanya suatu kebetulan. Bukan juga karena permintaan Ibu. Melainkan sudah diatur Tuhan, agar aku bisa melihat jasad Pak Sularso, dan memberi maaf untuknya yang terakhir kali.

Bambang Irwanto


Subscribe to receive free email updates:

29 Responses to "Cerpen : Pulang"

  1. Kirainnyg ada hubungannya ma sup kacang merah tempo hari mas bams..
    Rupanya cerita laen lagi.

    Cerita yg bagus.
    Ditunggu cerpen lainnya.
    Saya sdg kena hukuman, tapi pinisirin sama cerpennya hihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe... berarti saya sudah berhasil membuat Mbak Vivi penasaran ya hahaha.
      Terima kasih sudah mampir, Mbak. Siap, Mbak. Akan saya tulis cerpen-cerpen lainnya.

      Delete
  2. Wah lagi-lagi keren cerpennya.

    Memang ya, pulang untuk menjalani masa pensiun tak mudah. Saya ingat beberapa orang Jawa yang pensiun di Vale (eks Inco) di Sorowako malah menjalani masa pensiun di sana karena sudah akrab dengan warga sekitar. Mungkin kalau pulang ke Jawa juga mereka tidak tahu mau melakukan apa.

    Tulisan ta' ini bisa menjadi bahan pembelajaran untuk yang baca agar mempersiapkan masa pensiun, setidaknya mulai memikirkan hendak melakukan apa.

    BTW, bapak ta' dulu tentara di Makassar?

    Jujur, saya masih bertanya-tanya ... karena nama ta' asli nama Jawa tapi lama tinggal di Makassar. Berarti perantauan ya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar sekali, Mbak Mugniar. kalau memanh sudah nyaman tinggal di suatu tempat, mungkin tidak perlu pindah ke tempat lain.
      Iya, Bapak saya tentara dan lama tugas di Makassar, sampai pensiun. Sebenarnya tugasnya juga di daerah lain, kayak Bone, Mamuju, Kendari, tapi keluarga stay di Makassar. Orang tua saya dua-duanya jawa, hanya saya lahir di Makassar hehehe.

      Delete
    2. Kayak Kang Maman Suherman ya, ayahnya tentara, orang Sunda, tugas di Makassar. Tapi ibunya orang Makassar jadi Kang Maman masih sering ke Makassar.

      Jadi bahan pemikiran mendalam seharusnya juga ya yang seperti ini di usia pra pensiun

      Tetangga belakang rumah saya, orang Jawa. Suaminya sudah meninggal, pensiunan. Si ibu masih dagang nasi kuning Jawa dan rawon. Anak2nya lidah Makassar kalo ngomong, ndak ada mi logat² Jawanya :D Sekarang masih tinggal di sini. Kayaknya karena sudah nyaman di antara warga Makassar.

      Delete
  3. Aku yg baca aja kesel sama Pak Sularso..tapi bener2 ga nyangka kalau endingnya Pak sularso meninggal karena stroke juga..keren bgt cerpennya, mas Bambang 😍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, jadi pengin siram Pak Sularso kuah coto ya, Mbak Alfu hahaha.
      Terima kasih, Mbak. Saya harus banyak belajar nulis cerpen lagi.

      Delete
  4. Wah bagus ya mas stasiun nya mas. Wah jadi kepo terowongannya nih aku mas. Kemarin pas mudik juga aku naik kereta kalo gak salah aku juga 2 kali ngelewatin terowongan mas tapi gak tau apa nama torowonganya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini stasiun plus terowongan Ijo, Mbak Miskah. jadi sebelum stasiun Gombong. Jadi saat ini sedang dibangun terowongan baru. Jadi nanti, tidak perlu saling gantian lagi. Soalnya kadang memang lama berhenti di sini, karena saling gantian.

      Delete
  5. Arrghh, memaafkan itu memang terdengar mudah dilakukan. Sesungguhnya memaafkan dari hati, itu yang tersulit. Bibir bisa berdusta, tapi hati nggak.

    Tapi kemudian harus disadari, kita nggak perlu risau akan betapa tidak adilnya orang-orang terhadap kita. Itu sama saja artinya kita nggak percaya akan Tuhan. Dia bisa memberikan balasan kapan pun, saat orang tersebut masih hidup atau ketika berada di alam kubur.

    Semoga Kinan bisa memaafkan agar perjalanan pulangnya juga menjadi perjalanan pulang ke dalam hati, Kinan yang dulu nggak pernah membenci.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar sekali, Mbak Melina. Apalagi kejadian itu menggoreskan luka yang sangat dalam, maka memaafkan jadi hal yang teramat sulit dan berat dilakukan.

      Delete
  6. Seakan "karma" ya mas..

    Itulah apa yang kita tabur, itu yang kita tuai..
    Love cerita ini...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar sekali, Mbak Icha.
      Segala perbuatan yang kita lakukan, akan mendapat balasannya masing-masing.

      Delete
  7. hadeh kok kelakuanya tetangga yang bikin sakit lahir batin.Semoga yang sejenis Sularso segera menyadari,orang lain juga ada haknya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak Dona. Padahal sebagai kepala desa, harusnya dia yang mengayomi masyaratnya. Tapi begitulah.. Mbak. Salah satunya karena merasa berkuasa.

      Delete
  8. Aku ikut larut dalam cerita. Tapi memang ada sih kejadiannya di dunia nyata orang semacam itu. Dan, siapa menabur dia akan menuai. Kita tak bisa membalas, tangan Tuhan yang berkuasa.
    Boleh kasih kritik dan saran enggak Mas? Beberapa huruf harusnya besar tapi kecil, mestinya kecil tapi ditulis besar, sepertinya enggak diedit lagi sebelu tayang. Terus yang saat Ibu menerima telepon, bilangnya "Ti" bukan "Nan", kan ngobrolnya sama Kinan :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak Dian. Dan ini sebenarnya kisah nyata hahaha.
      Terima kasih masukannya Mbak Dian. Saya sempat baca sekaki sebelum tayang. Hanya mungkin lolos dari saya hahaha, nanti saya sempatkan edit lagi.

      Delete
  9. Pesan sederhana yang apik, tentang bagaimana baiknya bertetangga. Kadang tetangga memang yang paling besar jasa atau dosanya. Makanya sebagai tetangga aku juga berusaha menematkan diriku sebagai mereka agar tak salah berperilaku atau ambil sikap.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak Susi. Segala sesuatu dalam kehidupan ini memang seimbang, Mbak. Termasuk bertetangga. Ads tetangga yang baik, ada juga yang menyebalkan.

      Delete
  10. Cerpen yang menarik berlatar belakang kampung halaman, apalagi sangat tertarik dengan proses perjalanannya dengan pemandangan indah jalur kereta api hingga sampai melewati lorong. Sangat terkesan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu teriwingan Ijo, Mbak. Jadi memang terowongannya sangat panjang. Dan sekarang sedang dibuat terowongan baru. jadi tidak perlu lama saling menunggu lagi.

      Delete
  11. Endingnya masih belum memuaskan mas, azabnya harus lebih sadis lagoi *senyum jahat* hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe.. Biar nanti Allah yang akan menghukumnya di alam sana, Mbak.

      Delete
  12. Jiahahahha saya penasaran tadinya pikir ini kelanjutan cerpen sup kacang merah. Ternyata bukan nih, heuheuheu.

    Tapi tetap bagus kok cerpennya seperti yang biasa dibuat mas Bambang :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau Sup Kacang Merah terus lanjut, nanti sangat panajang Mbak Andy hahaha

      Delete
  13. Kerennnn cerpennya. Setiap paragrafnya saling mengikat, bikin kita betah bacanya. Ya iyyalah ya, yang bikin penulis senior *sungkem.

    Btw, ini pulang yang bermakna ganda, bagi Kinanti dan bagi Pak Sularso.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe.. ini masih terus belajar, Mbak Nanie. Masih kalah jauh dibandingkan teman-teman lain.
      Iya, Mbak, maknanya ganda, bagi Kinan dan Pak Sularso.

      Delete
  14. Ini kisah nyata kan? Kok banyak yg nyebut cerpen, jadi kesannya fiksi hehe. Udah lama aku nggak baca cerita blog yang dikemas seperti ini. Betaaaah banget bacanya. Semoga bisa segera memaafkan dengan ikhlas ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. cerpen itu, cerita kehidupan sehari-hari, Mbak Ratri. Jadi walau idenya dari kisah nyata, tadi dikemas sedemikian rupa, ada bumbu-bumbu tambahan. Settingnya, boleh memang sesuai tempat yang ada.

      Terima kasih sudah mampir dan betah berada di sini, Mbak Ratri.

      Delete

Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.